Jumat, 16 Desember 2011

ZIONIS GO TO HELL: KELOMPOK FREEMASON DAN GAGASAN PLURALISME AGAMA (2 - HABIS)






Menurut Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam Maya, kosmos yang tercipta. Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan Tuhan sebagai Esensi karena eksoterisme berada di dalam Maya, yang relatif dalam hubungannya dengan Atma. Pandangan eksoteris bermakna pandangan yang eksklusif, absolut dan total, sekalipun dari sudut pandang intelek adalah relatif.
Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran eksoteris adalah relatif.[17] Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada “huruf”,-- sebuah dogma esklusifistik (formalistik)--dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral.
Selain itu, eksoterisme tidak pernah akan melampaui individu. Eksoterisme bukan muncul dari esoterisme, namun muncul dari Tuhan.[18] Schuon menyadari jika masing-masing “form” agama meyakini bahwa sesuatu “form” itu lebih hebat dibanding dengan “form” yang lain. Pemikiran seperti itu, lanjut Schuon, sangat wajar. Perpindahan agama terjadi justru karena adanya superioritas sebuah “form” terhadap yang lain.
Bagaimanapun, superioritas tersebut sebenarnya relatif. Menurut Schuon, Islam misalnya, lebih baik dari Hindu karena memuat bentuk terakhir dari Sanatana Dharma. Schuon mengatakan.: “…Sama halnya, bahwa Agama Hindu adalah form yang paling tua yang masih hidup mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang terakhir (Islam)”.[19]
Esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik. Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris bagaikan ‘badan’agama. Menurut Schuon, titik-temu agama bukan berada pada level eksoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence). Agama memiliki dimensi esoteris yang berada di atas dimensi eksoteris. Titik temu antar agama hanya ada pada level esoteris.[20]
Melalui esoterisme, manusia akan menemukan dirinya yang benar. Pandangan esoteris akan menolak ego manusia dan mengganti ego tersebut menjadi ego yang diwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan.[21] Esoterisme menembus simbol-simbol eksoterisme.
Sekalipun terkait secara inheren kepada eksoterisme, esoterisme independen dari aspek eksternal, bentuk, formal agama.[22] Independensi tersebut karena esensi dari esoterisme adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan tidak teredusir kepada eksoterisme, yang memiliki keterbatasan.[23]
Pemaparan ringkas diatas menunjukkan gagasan Guenon dan Schuon yang memformulasi kesamaan agama dalam level esoteris adalah hasil interaksi mereka dengan para tokoh Freemason dan Teosofi. Gagasan pada intinya semua agama sama disebarkan pada awalnya oleh para pengikut Freemason, yang ingin merelevansikan ajaran-ajaran Yahudi, mistis, dan “hikmah kuno” (ancient wisdom) ke zaman modern. (habis)
Catatan Kaki
[17] Frithjof Schuon, The Transcendent, hlm. 15.
[18] Frithjof Schuon, Spiritual Perspectives, hlm. 79-80.
[19] Schuon mengatakan: “ … similarly, the fact that Hinduism is the most ancient of the living religious forms implies that it possesses a certain superiority or centrality with respect to later forms. There is not, of course, any contradiction here , since the standpoint is different in the two cases." Lihat Frithjof Schuon, The Transcendent, hlm. 36.
[20] Seyyed Hossein Nasr, The Essential Writings, hlm. 15.
[21] Frithjof Schuon, Gnosis, hlm. 70-71.
[22] Frithjof Schuon, Sufism, hlm. 32.
[23] Seyyed Hossein Nasr, The Essential Writings, hlm. 90-91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar