Sabtu, 26 Mei 2012

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN ISLAM TERHADAP YAHUDI


_44491219_a5e14770-d286-46e7-8fc1-8ad8e35f1540.jpg (550×397) 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
“Sesungguhnya kamu dapati orang orangyang paling keras permusuhannya terhadap orang orang yang beriman, adalah orang orang Yahudi dan orang orang musrik” (TQS al-Maidah [06]:82)
        Peringatan Allah tersebut harus dijadikan sebagai kaidah. Begitulah kenyataannya yang tampak maupun tidak, selalu ditunjukan oleh orang orang Yahudi terhadap kaum Muslimin. Meski mereka terkait perjanjian dengan kaum muslimin, ketika Pemerintahan  Islam baru berdiri di Madinah, namun ketika mereka mulai melihat kekuatan Islam dan kaum muslimin, mereka pun tidak rela. Mereka dengki. Terlebih, setelah mereka menyaksikan kaum muslimin mendapatkan kemenangan besar saat Perang Bandar, mereka semakin gelap mata. Tampak kedengkian itu dalam pada sikap mereka ketika menistakan wanita Muslimah di pasar Madinah. Penistaan yang menjadikan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai Pemimpin Muslimin mengambil sikap tegas, membunuh mereka.
        Namun, negosiasi tidak kenal lelah gembong munafik, ‘Abdul-lah bin ‘Ubai bin salul, dan karena kasih sayang Nabi, hukuman itu pun di peringan. Mereka tidak di bunuh, tetapi di usir dari Madinah hingga beberapa kilometer dari wilayah Syam. Hanya saja, diusirnya Bani Qainuqa’ dari Madinah masih menyisahkan komunitas Yahudi yang lain yakni Bani Nadhir. Mereka berharap, kaum muslimin lemah dan menderita kekalahan. Maka ketika kesempatan itu tiba, mereka siap menikam dari belakang. Kesempatan itu pun tiba, ketika kaum Muslimin kalah dalam Perang Uhud. Mereka pun menyusun rencana untuk membunuh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
        Peristiwa ini dijadikan sebagai bukti makar mereka terhadap Pemerintahan Islam. Nabi pun mengambil tindakan tegas, memerangi Bani Nadhir, dan membersihkan sisa sisa komunitas Yahudi itu dari Madinah. Namun, pasca pembersihan mereka dari Madinah, mereka belum kapok. Mereka tidak henti-hentinya memikirkan cara menghancurkan Islam dan kaum Muslimin. Mereka pun menyusun kekuatan koalisi untuk mewujudkan niat jahatnya. Salam bin Abi al-Haqis, Huyay bin Akhthab dan kinanah bin al-Haqiq, tiga dedengkot Yahudi Bani Nadhir itu mendatangi kaum Quraisy. Mereka menjilat dengan mengatakan bahwa agama pagan mereka lebih baik dan benar, ketimbang Islam. Mereka berhasil di yakinkan dan di provokasi untuk berkoalisi dalam rangka menghancurkan  Islam.
        Meletuslah perang Khandak, yang melibatkan 10.000 personel pasukan koalisi Kafir Khuraisy Yahudi, dengan 4000 personil kaum Muslim yang di pimpin oleh Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Perang yang berlangsung selama satu bulan itu akhirnya dimenangkan oleh kaum Muslimin, luar biasa sang panglima agung, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Meski kaum Muslimin dikurung, di dalam Madinah oleh pasukan koalisi selama sebulan penuh, bukannya mereka menyerah, tetapi musuh merekalah yang setres dan bercerai berai. Dan pasukan koalisi pun kalah sebelum “perang panas” benar benar meletus.
        Kekalahan mereka dalam perang khandak itu ternyata tidak membuat mereka jera. Mereka pun kembali menyusun rencana baru. Kini giliran Yahudi Khaibar. Mereka diam-diam membangun koalisi dengan kafir Quraisy. Ketika Nabi mengetahui rancana mereka, segera Nabi mengintruksikan kaum Muslimin untuk melakukan Umroh Hudaibiyah pada tahun 6 H. Umroh ini sendiri bukan tujuannya Nabi. Yang diinginkan oleh Nabi adalah Perjanjian Hudaibiyah. Pada awalnya, ketika perjanjian ini diteken, banyak sahabat yang tidak setuju, karena secara exsplisit tampak merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Padahal, inilah perjanjian terpenting yang mempunyai dampak yang paling besar dalam perjalanan Islam dan kaum muslimin, dan tentu Pemerintahan Islam itu sendiri.
        Dengan perjanjian Hudaibiyah ini, ibaratnya tangan dan kaki kaum Khafir Quraisy telah diikat oleh Nabi sehingga mereka tidak bisa berbuat apa apa, ketika nabi dan 3.000 kaum muslimin, pasca Umroh Hidabiyyah langsung menyerang Yahudi Khaibar. Khaibar pun jatuh dalam tangan kaum Muslimin. Jatuhnya Khaibar membuat kekuatan kaum Yahudi benar-benar habis. Namun, mereka tetap diizinkan tinggal di Khaibar, meski status tanahnya telah dijadikan ghanimah bagi kaum Muslim. Kebijakan yang kelak dijadikan dasar oleh Khalifah Umar dan Sayyidina Ali, ketika menaklukan Irak, dengan tidak membagikan tanah tanahnya sebagai ganimah yang habis dibagi, tetapi tetap dibiarkan menjadi hak kaum Muslimin sampai Hari Kiamat.
        Jatuhnya kekuatan Yahudi Khaibar akhirnya membuat komunitas yahudi lain, yang masih tersisa, seperti Fadak, Wadil Qura dan Taima’ segera meminta perdamaian dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Nabi pun memberikan dzimmah kepada mereka, termasuk kepada sisa-sisa Yahudi Khaibar. Sebagai ahlil dzimmah, status mereka sama dengan ahli dzimmah yang lain, yaitu wajib tunduk pada sistem Islam dan wajib membayar jizyah.
        Tetapi, dasar Yahudi, mereka pun memalsukan naskah perjanjian dzimmah itu, dengan klaim bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah membebaskan mereka dari jizyah. Celakanya, mereka menizbatkan riwayat tersebut dengan kesaksian Mu’awiyah dan Sa’ad bin Mu’adz. Dokumen ini mereka ajukan kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Namun, para ahli hadist sepakat, bahwa ini adalah riwayat palsu, dan dokumennya pun palsu. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya, Ahkam Ahli Dzimmah, telah membantah riwayat dan dokumen tersebut.
        Begitulah tindakan dan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Islam dibawah pimpinan nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Ketika Umar bin al-Khattab menjadi Khalifah, orang Yahudi dan Nasrani pun dibersihkan dari Khaibar hingga ke wilayah jerico, Palestina (Lihat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz V/137). Imam Malik menunturkan riwayat dari Ibn Syihab, yang menyatakan, “Bahwa Rosulullah  pernah bersabda, ‘Tidak boleh dua agama menyatu di Jazirah Arab’. Kemudian, beliau pun mengusir Yahudi Khaibar”. (lihat Ibn ‘Abdi al-Barr, al-Istidzkar al-Jami’ li Madzahibi al-Fuqaha’, Masalah 1651-1652).
        Ketika palestina di taklukan oleh Umar, ia meratifikasi ‘Ahdah ‘Umariyah, yang isinya, antara lain, menetapkan bahwa orang-orang Yahudi tidak di izinkan tinggal bersama kaum Kristen disana, sebagaimana Syarat yang diajukan oleh kaum Kristen. Begitulah kebijakan yang diberlakukan terhadap kaum Yahudi. Hanya saja, perlu di catat, bahwa kebijakan ini dilakukan oleh kebijakan  Kekhilafahan karena mereka dianggap melanggar komitmen yang mereka sepakati dengan Pemerintah Islam.
        Meski dalam banyak catatan sejarah, Kekhilafahan tetap memberikan tempat kepada mereka sebagai ahli dzimmah dengan perlakuan yang sama dengan warga Khilafah yang lain. Dengan catatan, ketika mereka tunduk dan patuh pada sistem Islam, membayar jizyah, dan tidak menciderai hal hal yang merusak dzimmah mereka
Wallahu a’lam. [KH.Hafidz Abdurrahman yang diedit oleh Abu Dzakir]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar