“Sesungguhnya
kamu dapati orang orangyang paling keras permusuhannya terhadap orang
orang yang beriman, adalah orang orang Yahudi dan orang orang musrik”
(TQS al-Maidah [06]:82)
Peringatan Allah tersebut harus dijadikan sebagai kaidah. Begitulah
kenyataannya yang tampak maupun tidak, selalu ditunjukan oleh orang
orang Yahudi terhadap kaum Muslimin. Meski mereka terkait perjanjian
dengan kaum muslimin, ketika Pemerintahan Islam baru berdiri di Madinah, namun
ketika mereka mulai melihat kekuatan Islam dan kaum muslimin, mereka
pun tidak rela. Mereka dengki. Terlebih, setelah mereka menyaksikan kaum
muslimin mendapatkan kemenangan besar saat Perang Bandar, mereka
semakin gelap mata. Tampak kedengkian itu dalam pada sikap mereka ketika
menistakan wanita Muslimah di pasar Madinah. Penistaan yang menjadikan
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai Pemimpin Muslimin mengambil sikap tegas, membunuh mereka.
Namun, negosiasi tidak kenal lelah gembong munafik, ‘Abdul-lah bin
‘Ubai bin salul, dan karena kasih sayang Nabi, hukuman itu pun di
peringan. Mereka tidak di bunuh, tetapi di usir dari Madinah hingga
beberapa kilometer dari wilayah Syam. Hanya saja, diusirnya Bani
Qainuqa’ dari Madinah masih menyisahkan komunitas Yahudi yang lain yakni
Bani Nadhir. Mereka berharap, kaum muslimin lemah dan menderita
kekalahan. Maka ketika kesempatan itu tiba, mereka siap menikam dari
belakang. Kesempatan itu pun tiba, ketika kaum Muslimin kalah dalam
Perang Uhud. Mereka pun menyusun rencana untuk membunuh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Peristiwa ini dijadikan sebagai bukti makar mereka terhadap Pemerintahan
Islam. Nabi pun mengambil tindakan tegas, memerangi Bani Nadhir, dan
membersihkan sisa sisa komunitas Yahudi itu dari Madinah. Namun, pasca
pembersihan mereka dari Madinah, mereka belum kapok. Mereka tidak
henti-hentinya memikirkan cara menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.
Mereka pun menyusun kekuatan koalisi untuk mewujudkan niat jahatnya.
Salam bin Abi al-Haqis, Huyay bin Akhthab dan kinanah bin al-Haqiq, tiga
dedengkot Yahudi Bani Nadhir itu mendatangi kaum Quraisy. Mereka
menjilat dengan mengatakan bahwa agama pagan mereka lebih baik dan
benar, ketimbang Islam. Mereka berhasil di yakinkan dan di provokasi
untuk berkoalisi dalam rangka menghancurkan Islam.
Meletuslah perang Khandak, yang melibatkan 10.000 personel pasukan
koalisi Kafir Khuraisy Yahudi, dengan 4000 personil kaum Muslim yang di
pimpin oleh Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Perang yang berlangsung selama satu bulan
itu akhirnya dimenangkan oleh kaum Muslimin, luar biasa sang panglima
agung, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Meski kaum Muslimin dikurung, di dalam Madinah
oleh pasukan koalisi selama sebulan penuh, bukannya mereka menyerah,
tetapi musuh merekalah yang setres dan bercerai berai. Dan pasukan
koalisi pun kalah sebelum “perang panas” benar benar meletus.
Kekalahan mereka dalam perang khandak itu ternyata tidak membuat mereka
jera. Mereka pun kembali menyusun rencana baru. Kini giliran Yahudi
Khaibar. Mereka diam-diam membangun koalisi dengan kafir Quraisy. Ketika
Nabi mengetahui rancana mereka, segera Nabi mengintruksikan kaum
Muslimin untuk melakukan Umroh Hudaibiyah pada tahun 6 H. Umroh ini
sendiri bukan tujuannya Nabi. Yang diinginkan oleh Nabi adalah
Perjanjian Hudaibiyah. Pada awalnya, ketika perjanjian ini diteken,
banyak sahabat yang tidak setuju, karena secara exsplisit tampak
merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Padahal, inilah
perjanjian terpenting yang mempunyai dampak yang paling besar dalam
perjalanan Islam dan kaum muslimin, dan tentu Pemerintahan Islam itu sendiri.
Dengan perjanjian Hudaibiyah ini, ibaratnya tangan dan kaki kaum Khafir
Quraisy telah diikat oleh Nabi sehingga mereka tidak bisa berbuat apa
apa, ketika nabi dan 3.000 kaum muslimin, pasca Umroh Hidabiyyah
langsung menyerang Yahudi Khaibar. Khaibar pun jatuh dalam tangan kaum
Muslimin. Jatuhnya Khaibar membuat kekuatan kaum Yahudi benar-benar
habis. Namun, mereka tetap diizinkan tinggal di Khaibar, meski status
tanahnya telah dijadikan ghanimah bagi kaum Muslim. Kebijakan
yang kelak dijadikan dasar oleh Khalifah Umar dan Sayyidina Ali, ketika
menaklukan Irak, dengan tidak membagikan tanah tanahnya sebagai ganimah yang habis dibagi, tetapi tetap dibiarkan menjadi hak kaum Muslimin sampai Hari Kiamat.
Jatuhnya kekuatan Yahudi Khaibar akhirnya membuat komunitas yahudi
lain, yang masih tersisa, seperti Fadak, Wadil Qura dan Taima’ segera
meminta perdamaian dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Nabi pun memberikan dzimmah kepada mereka, termasuk kepada sisa-sisa Yahudi Khaibar. Sebagai ahlil dzimmah, status mereka sama dengan ahli dzimmah yang lain, yaitu wajib tunduk pada sistem Islam dan wajib membayar jizyah.
Tetapi, dasar Yahudi, mereka pun memalsukan naskah perjanjian dzimmah
itu, dengan klaim bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah membebaskan mereka dari jizyah.
Celakanya, mereka menizbatkan riwayat tersebut dengan kesaksian
Mu’awiyah dan Sa’ad bin Mu’adz. Dokumen ini mereka ajukan kepada
Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Namun, para ahli hadist sepakat, bahwa
ini adalah riwayat palsu, dan dokumennya pun palsu. Ibn al-Qayyim
al-Jauziyyah dalam kitabnya, Ahkam Ahli Dzimmah, telah membantah riwayat
dan dokumen tersebut.
Begitulah tindakan dan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Islam
dibawah pimpinan nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Ketika Umar bin al-Khattab menjadi
Khalifah, orang Yahudi dan Nasrani pun dibersihkan dari Khaibar hingga
ke wilayah jerico, Palestina (Lihat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz
V/137). Imam Malik menunturkan riwayat dari Ibn Syihab, yang menyatakan,
“Bahwa Rosulullah pernah bersabda, ‘Tidak boleh dua agama menyatu
di Jazirah Arab’. Kemudian, beliau pun mengusir Yahudi Khaibar”. (lihat
Ibn ‘Abdi al-Barr, al-Istidzkar al-Jami’ li Madzahibi al-Fuqaha’,
Masalah 1651-1652).
Ketika palestina di taklukan oleh Umar, ia meratifikasi ‘Ahdah
‘Umariyah, yang isinya, antara lain, menetapkan bahwa orang-orang Yahudi
tidak di izinkan tinggal bersama kaum Kristen disana, sebagaimana
Syarat yang diajukan oleh kaum Kristen. Begitulah kebijakan yang
diberlakukan terhadap kaum Yahudi. Hanya saja, perlu di catat, bahwa
kebijakan ini dilakukan oleh kebijakan Kekhilafahan karena mereka
dianggap melanggar komitmen yang mereka sepakati dengan Pemerintah Islam.
Meski dalam banyak catatan sejarah, Kekhilafahan tetap memberikan
tempat kepada mereka sebagai ahli dzimmah dengan perlakuan yang sama
dengan warga Khilafah yang lain. Dengan catatan, ketika mereka
tunduk dan patuh pada sistem Islam, membayar jizyah, dan tidak
menciderai hal hal yang merusak dzimmah mereka
Wallahu a’lam. [KH.Hafidz Abdurrahman yang diedit oleh Abu Dzakir]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar