Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Begitulah ikrar dari para pemuda Indonesia yang dikumandangan 83 tahun yang lalu. Sumpah Setia itu bagai magnet baru untuk menaikkan rasa patriotisme para pemuda dari berbagai belahan daerah.
Sumpah Pemuda sendiri merupakan hasil rumusan Kongres Pemuda Kedua yang diadakan oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Kongres Pemuda Kedua itu konon merupakan respon dan reaksi para pemuda atas Kongres Pertama di tahun 1926.
Akan tetapi, jarang banyak orang yang tahu sejatinya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober tahun 1928 penuh dengan inflitrasi kaum freemason. Sebenarnya ormas pemuda kala itu telah melakukan boikot kongres tahun 1926 karena ditumpangi kepentingan Zionis atau Freemasonry dan Belanda.
Hal ini dipicu karena lokasi Konggres Pertama yang berada di loge Broederkaten di Vrijmetselarijweg dan peran Theosofische Vereeniging (TV) sebagai penyandang dana Kongres Pemuda I (1926). (Lebih jauh baca Jejak Sejarah Yahudi di Indonesia, Ridwan Saidi)
Rumusan Sumpah Pemuda sendiri ditulis Mohammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.
Mohammad Yamin sendiri adalah seorang anggota senior dari Jong Sumatranen Bond atau Ikatan Pemuda Sumatera. Pendirian Jong Sumateranen Bond sendiri difasilitasi oleh Theosofi. Bahkan rapat tahunan pertama organisasi ini diwarnai pengaruh paham yahudi dan Freemasonry. Pada gilirannya Yamin juga berjasa besar untuk menelurkan gagasan Pancasila yang dekat dengan ide dan gagasan kemasonan.
Maka itu tidak aneh, pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya memupuk rasa nasionalisme dan demokrasi. Dua ideologi yang memang telah menjadi agenda Yahudi untuk ditanamkan di negeri-negeri muslim.
Selain Jong Sumateranan, afiliasi pemuda yang ikut menyemarakkan Sumpah Pemuda 1928 adalah Jong Java. Menurut Artawijaya, Agama Katolik dan Theosofi banyak mendapat tempat untuk diajarkan dalam pertemuan-pertemuan Jong Java. Namun perlakuan Jong Java(Perkumpulan Para Pemuda Jawa) terhadap agama-agama itu, sangat berbeda dengan agama Islam.
Syamsuridjal, salah seorang Tokoh Islam, pernah keluar dari keanggotaan Jong Javadan kemudian mendirikan Jong Islamietend Bond (JIB/Perhimpunan Pemuda Islam). Sikapnya itu tidak lain sebagai reaksi penolakan Jong Java untuk mengadakan kuliah atau pengajaran keislaman bagi anggotanya yang beragama Islam dalam organisasi ketheosofian itu.
Sosok yang dianggap berpengaruh dalam menyingkirkan Islam dari organisasi Jong Java adalah Hendrik Kraemer, utusan Perkumpulan Bibel Belanda yang diangkat menjadi penasihat Jong Java. Sejarawan Karel Steenbrink dalam "Kawan dalam Pertikaian:Kaum Kolonial Belanda Islam di Indonesia 1596-1942" menulis bahwa Kraemer adalah misionaris Ordo Jesuit yang aktif memberikan kuliah Theosofi dan ajaran Katolik kepada anggota Jong Java. Di organisasi pemuda inilah, Kraemer masuk untuk menihilkan ajaran-ajaran Islam.
Sebelumnya, pada 1926, dua tahun sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, para aktivis muda yang berasal dari Jong Theosofen (Pemuda Theosofi) dan Jong Vrijmetselaarij (Pemuda Freemason) sibuk mengadakan pertemuan-pertemuan kepemudaan. Pada tahun yang sama, mereka berusaha mengadakan kongres pemuda di Batavia yang ditolak oleh JIB, karena kongres ini didanai oleh organisasi Freemason dan diadakan di Loge Broderketen, Batavia.
Alasan penolakan JIB, dikhawatirkan kongres ini disusupi oleh kepentingan-kepentingan yang berusaha menyingkirkan Islam. Apalagi, Tabrani, penggagas kongres ini adalah anggota Freemason dan pernah mendapat beasiswa dari Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah lembaga beasiswa yang dikelola aktivis Theosofi-Freemason.
Maka itu tak heran, sampai sekarang perayaan sumpah pemuda selalu beriringan dengan misi-misi penanaman nilai-nilai demokrasi dan nasionalisme untuk menjauhkan kedekatan Indonesia terhadap ide-ide Syariat Islam.
Televisi lebih banyak menampilkan Profil Mohammad Yamin, Soekarno, Muhammad Hatta, ketimbang Muhammad Natsir atau Kasman Singodimejo. Mereka lebih suka mem-blow-up Soe Hok Gie (bahkan sudah difilmkan) daripada Lafran Pane. Padahal Soe Hok Gie hanya menulis surat-suratnya di catatan harian yang kemudian booming setelah diterbitkan LP3ES. (Lihat:Catatan Harian Sang Demonstran, LP3ES: 1983)
Berbeda dengan Lafran Pane. Pemuda kelahiran Sumatera Utara itu menggorganisir kawan-kawannya untuk bergerak melawan Sistem Pendidikan Barat di kampus-kampus kala itu. Lafran tahu betul latar belakang kemunduran Pemuda Indonesia tidak lain karena pendidikan sekularisme yang ditanamkan oleh Belanda jauh-jauh hari.
Ia juga mengkritik berkembangnya ajaran komunis di masyarakat Indonesia sebagai perusak kemurnian Tauhid. Hingga pada klimaksnya ia kemudian mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai pusara pergerakan pemuda Islam melawan kedigdayaan westernisasi.
Ironisnya, HMI yang dulu dibesarkannya justru kini banyak diinflitrasi tradisi pemikiran Barat yang padahal dulu dilawannya di tahun 1947 (baca: tahun lahir HMI). Namun pernahkah tokoh-tokoh muda muslim seperti Lafran diangkat di media? Inilah taktik Freemason yang berhasil mereka mainkan hingga sekarang. (Pz)
(Copas: EraMuslim)
tambah lama kok tambah ngaco ya bung blognya,.,.,.,.,.sumpah pemuda di bilang zionis,kartini di bilang zionis,skalian aja smuanya kamu nilang gitu,pancasila,uud 1945,smuanya aja skalian,.,.,.,.,
BalasHapus