Gagalnya
usaha Theodore Herzl, bapak gerakan Zionisme, membujuk Khalifah Abdul
Hamid II agar menjual sebagian tanah di Palestina untuk dijadikan sebuah
negara Yahudi membuat kaum Yahudi berang.
Mereka sadar, kaum Yahudi tidak akan pernah bisa mendirikan negara
Yahudi selama Khilafah Islam masih berdiri. Sejak itu, mereka bergerak
membuat makar secara sistematis dan jangka panjang untuk meruntuhkan
Khilafah. Mulai dari memecah belah persatuan Daulah Islam dengan menebar
paham nasionalisme, hingga memunculkan tokoh seperti Mustafa Kemal yang
akhirnya menggulingkan Khilafah dari dalam. Sejak itu, impian mereka
mendirikan negara Yahudi di Palestina terwujud, meski dilakukan dengan
cara-cara ilegal, pembantaian, dan pengusiran.
Sebagai negeri dengan penduduk Islam terbesar di dunia, pengakuan Indonesia terhadap negara Israel sangat penting bagi bangsa Zionis itu. Namun hal itu mustahil, karena Indonesia menentang segala bentuk penjajahan. Termasuk penjajahan yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Menjalin hubungan diplomatik akan sulit dilakukan. Meski demikian, kerjasama rahasia kedua negera telah berlangsung cukup intens. Agar tidak mendapatkan reaksi keras, pendekatan non-politis menjadi pilihan. Yakni melalui kerjasama perdagangan, intelijen, teknologi, dan kemanusiaan -seperti masalah kesehatan. Akankah hal tersebut menjadi langkah gradual Israel untuk mendapatkan pengakuan dari Indonesia? Atau mungkin lebih dari itu.
Berikut temuan Suara Hidayatullah tentang aksi Zionisme di negeri ini. Meski tidak membongkar keseluruhan aksi mereka, setidaknya bisa memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa ditelusuri di masa datang.*
Penanggung jawab : Surya Fachrizal Ginting | Koordinator : Abu Abdil Barr | Reporter : Ibnu Syafaat, Bilal Muhammad, Ainuddin Chalik, Syaiful Anshor | Editor : Dadang Kusmayadi
Tergeleng-geleng di Jerusalem
Kerjasama sudah lama terjalin. Bahkan sudah saling mengunjungi.
Rabu, 2 Juni 2010. Dua hari pasca penyerangan pasukan Komando Angkatan Laut Zionis Israel kepada armada kebebasan, Freedom Flotilla, menuju Gaza, Palestina. Surya Fachrizal, wartawan Suara Hidayatullah yang juga salah satu korban serangan terbangun dari tidurnya di Rumah Sakit Rambam, Haifa, wilayah Palestina yang dijajah Zionis.
Seorang lelaki bule gemuk berkaus polo warna merah menyapa. “Hai, nama saya Steve,” ujarnya ramah. Steve datang didampingi dua orang berseragam putih bergaris biru dari Magen David Adom (Bintang David Merah, semacam palang merahnya Israel).
Sambil melihat-lihat keadaan Surya yang masih terlilit selang-selang infus dan kabel pasca operasi, ia bertanya, “Bagaimana keadaan Anda?” Surya menjawab singkat, “Baik.”
Kemudian Steve bercerita, beberapa hari sebelumnya ia baru saja tiba dari Jakarta. Dirinya sengaja datang untuk memastikan keadaan Surya. “Sepekan saya di Jakarta. Saya sudah kontak dengan kementerian kesehatan Indonesia, dengan dr Rustam. Begitu keadaan Anda baik, kami akan mengurus kepulangan Anda,” kata Steve.
Kunjungan Steve yang hanya sekitar sepuluh menit itu menyisakan sejumlah pertanyaan di benak Surya. Bagaimana bisa kementerian kesehatan Indonesia punya hubungan dengan seseorang dari bangsa penjajah?
Sejak kapan hal ini terjadi?
Menurut Kepala Kerjasama Kesehatan Bilateral Kementerian Kesehatan RI, Dicky Budiman, dr Rustam yang dimaksud Steve adalah Rustam Syarifuddin Pakaya, mantan kepala pusat penanggulangan krisis Kemenkes RI yang pernah melakukan misi ke Jalur Gaza pasca gempuran Zionis Israel awal tahun 2009 lalu.
Namun, Dicky membantah anggapan adanya hubungan atau kerjasama di bidang kesehatan antara Indonesia dengan bangsa Zionis tersebut. “Tidak pernah ada,” kata Dicky kepada Suara Hidayatullah.
Awal bulan November lalu Suara Hidayatullah menemui dr Rustam yang dimaksud oleh Steve. Saat ini ia menjabat Direktur SDM dan Pendidikan Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Rustam mengaku kenal dengan Steve. “Namanya Steve Stein. Dia seorang professor,” kata Rustam menjelaskan.
Rustam mengatakan, dialah yang meminta Steve untuk mencari dan memastikan kondisi ke 12 relawan Indonesia yang diserang di Kapal Mavi Marmara itu Namun, Rustam mengaku tidak pernah bertemu muka dengan Steve.
Kata Rustam, Steve jualah yang pertama kali menelepon dia terkait adanya sejumlah WNI di Mavi Marmara. “Sejak itu saya kontak dengan dia via telepon dan email,” ujar Rustam.
Saat itu, kata Rustam, dirinya juga diingatkan oleh sejumlah pihak agar berhati-hati berhubungan dengan Steve. “Awas, bisa jadi itu Mossad! (badan intelijen Israel, Red), kata orang. Tapi, yang penting saat itu adalah mengetahui keadaan WNI yang ditahan di sana,” jelas Rustam.
Senada dengan Dicky, Rustam juga mengatakan tidak ada kerjasama antara Kemenkes RI dengan MDA atau organisasi apa pun dari Israel. Sekretariat Jenderal Kemenkes RI melalui Kepala Pusat Komunikasi Publiknya pun menegaskan hal itu.
“Sesuai dengan politik luar negeri negera Republik Indonesia yang tidak menjalin hubungan diplomatik maupun kerjasama bilateral dalam bentuk apa pun dengan pihak negera Israel, maka kami tegaskan bahwa kementerian kesehatan RI tidak memiliki dan tidak mungkin menjalin kerjasama dengan Israel,” papar Tritarayati, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenkes RI.
Kepada Suara Hidayatullah, Tritarayati menegaskan, siapa pun pejabat Kemenkes RI di Jakarta yang dikenal oleh Steve Stein dari MDA Israel bukan merupakan keabsahan adanya pembicaraan tentang kerjasama antara MDA Israel dengan Kemenkes RI.
“Secara institusi, kementerian kesehatan RI menyatakan tidak pernah mengenal Steve Stein atau siapa pun pejabat MDA Israel,” ujarnya menjelaskan.
Pedagang yang Membuka Pintu
Rustam mengatakan, pihak Indonesia yang membuka kerjasama kesehatan dengan MDA Israel adalah Yayasan Ambulan Gawat Darurat 118 dan Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah.
Pada akhir Oktober 2008 lalu, Ketua Yayasan Ambulan 118 Prof Aryono Pusponegoro bersama Ketua Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah, Sudibyo Markus diberitakan telah menandatangani kerjasama dengan MDA Israel, di Tel Aviv.
Kepada www.hidayatullah.com kala itu, Sudibyo membenarkan dirinya telah datang ke Israel bersama Prof Aryono. Tapi menurutnya, kedatangannya bukan untuk perjanjian kerjasama antara Muhammadiyah dengan Israel.
“Yang benar, sebagai saksi dalam perjanjian untuk mendampingi Prof Aryono Pusponegoro sebagai Ketua Yayasan Ambulan Gawat Darurat 118. Dan bukan atas nama Muhammadiyah,” kata Sudibyo.
Dihubungi via telepon pertengahan November lalu, Prof Aryono membenarkan adanya kerjasama Yayasan yang dipimpinnya dengan MDA Israel. “Tapi (Yayasan Ambulan) 118 bukan hanya kerjasama dengan MDA, tapi juga dengan banyak negara lain, seperti Miami Dade dari Amerika, dengan Australia, Yordania, dan sebagainya,” tegas Aryono.
Prof Aryono mengatakan, pihaknya juga mendapatkan manfaat dari MDA. Karena kesibukannya, dia tidak bisa melakukan wawancara langsung dengan Suara Hidayatullah untuk menjelaskan masalah ini.
Namun ia mengatakan, sangat ingin menjelaskan masalah ini secara langsung pada kesempatan berikutnya. “Jadi, jangan salah paham. Ini sejarahnya panjang. Apalagi menyangkut kerjasama dengan Israel.”
Aryono mengaku kenal dengan Steve Stein. Tapi, kata Aryono, bukan seorang professor ataupun dokter. “Dia itu pedagang, bukan dokter apalagi professor,” ujar Aryono.
Apakah artinya Yayasan Ambulan 118 membeli alat-alat atau teknologi kesehatan dari Zionis Israel melalui Steve? “Tidak,” kata Aryono. Menurutnya, teknologi kesehatan Israel sebenarnya tidak istimewa. “Mereka bagusnya itu soal senjata. Selama kita (Indonesia) diembargo pada masa Orde Baru, kita membeli senjata dari sana (Israel),” kata Aryono yang pernah memimpin organisasi Ikatan Dokter Bedah Indonesia ini.
Hasil penelusuran Suara Hidayatullah menunjukkan, Steve Stein memang seorang pebisnis. Pada tulisan di situs berita Zionis Jerusalem Post, www.jpost.com, 18 Agustus 201o, Steve disebut sebagai pengusaha Israel pertama yang menjalin hubungan dagang dengan Indonesia.
Tulisan yang berjudul, From Israel to Indonesia, With Love itu, Steve dikabarkan pertama kali tiba di Jakarta pada tahun 1992. “Upaya Stein selama dua dekade ini telah sukses meningkatkan perdagangan dan kerjasama di bidang medis antara penyedia layanan kesehatan Indonesia dengan RS Rambam di Haifa, dan MDA.”
Dalam tulisan itu Steve mengatakan, Indonesia memerlukan pelatihan medis, terutama setelah peristiwa tsunami. “Dan Israel memiliki sejumlah pelayanan medis terbaik yang ada di dunia,” kata Steve.
Pada tahun 2006, Steve mendatangkan Prof Aryono ke Israel untuk berkunjung ke MDA untuk menyaksikan simulasi penanganan serangan terror dengan melibatkan banyak unsur, seperti polisi, pemadam kebakaran, militer, angkatan udara, dan juga pihak MDA.
“Hal itu berjalan mulus,” kata Steve. Maka, pada tahun 2008, Steve memboyong 23 dokter dari seluruh Indonesia ke ibukota bangsa Zionis itu, Tel Aviv. Dalam kunjungan selama dua pekan itu, delegasi dokter Indonesia mengikuti kegiatan pelatihan Management of Multi-Casualty Incidents.
Steve mengatakan, dokter-dokter Indonesia itu begitu terkesan dengan Israel. “Kepala mereka tergeleng-geleng, mereka mengatakan kepada saya, mereka bingung,” kata Steve seperti ditulis Jerusalem Post.
Mereka bingung, kata Steve, karena mereka tidak melihat adanya konflik ataupun perang selama kunjungannya ke Israel. “Di sini aman. Tidak seperti yang diberitakan Aljazeera.” Tak lama setelah kunjugan dokter Indonesia itulah, kerjasama Yayasan Ambulan 118 dengan MDA Israel diresmikan.
Majalah Warta Ekonomi edisi awal Maret 2010 menurunkan hasil wawancara dengan Ketua Kamar Dagang Israel untuk Indonesia, Emmanuel Shahaf. Dalam wawancara itu Shahaf mengatakan, lembaganya banyak mendapat tawaran bisnis obat-obatan dan teknologi kedokteran dari pengusaha dalam negeri Israel untuk masuk ke Indonesia.
Namun ia mengatakan, untuk masuk ke sektor kesehatan cukup sulit. Sebab, kurangnya akses perusahaan-perusahaan Israel untuk sektor pemerintahan di Indonesia karena kekangan politik Islam lokal.
“Hal ini mencegah pemerintah Indonesia mengakses teknologi dan metodologi yang akan sangat bermanfaat bagi penduduk dalam pengelolaan bencana, kesehatan masyarakat, dan lain-lain,” katanya.
Anggapan Shahaf ini dibantah oleh Rustam Pakaya, mantan Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kemenkes RI. Selama ini, kata Rustam, malah Indonesia yang direkomendasikan sebagai rujukan dunia oleh badan kesehatan dunia (WHO) dalam hal penanggulangan bencana, khususnya di bidang kesehatan.
Kata Rustam, di Indonesia banyak terjadi bencana, maka pengalaman Indonesia dalam menangani bencana menjadi acuan bagi banyak negara.
“Buat apa belajar ke luar negeri? Apalagi belajar ke Israel,” kata Rustam. * SUARA HIDAYATULLAH, DESEMBER 2010
Sebagai negeri dengan penduduk Islam terbesar di dunia, pengakuan Indonesia terhadap negara Israel sangat penting bagi bangsa Zionis itu. Namun hal itu mustahil, karena Indonesia menentang segala bentuk penjajahan. Termasuk penjajahan yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Menjalin hubungan diplomatik akan sulit dilakukan. Meski demikian, kerjasama rahasia kedua negera telah berlangsung cukup intens. Agar tidak mendapatkan reaksi keras, pendekatan non-politis menjadi pilihan. Yakni melalui kerjasama perdagangan, intelijen, teknologi, dan kemanusiaan -seperti masalah kesehatan. Akankah hal tersebut menjadi langkah gradual Israel untuk mendapatkan pengakuan dari Indonesia? Atau mungkin lebih dari itu.
Berikut temuan Suara Hidayatullah tentang aksi Zionisme di negeri ini. Meski tidak membongkar keseluruhan aksi mereka, setidaknya bisa memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa ditelusuri di masa datang.*
Penanggung jawab : Surya Fachrizal Ginting | Koordinator : Abu Abdil Barr | Reporter : Ibnu Syafaat, Bilal Muhammad, Ainuddin Chalik, Syaiful Anshor | Editor : Dadang Kusmayadi
Tergeleng-geleng di Jerusalem
Kerjasama sudah lama terjalin. Bahkan sudah saling mengunjungi.
Rabu, 2 Juni 2010. Dua hari pasca penyerangan pasukan Komando Angkatan Laut Zionis Israel kepada armada kebebasan, Freedom Flotilla, menuju Gaza, Palestina. Surya Fachrizal, wartawan Suara Hidayatullah yang juga salah satu korban serangan terbangun dari tidurnya di Rumah Sakit Rambam, Haifa, wilayah Palestina yang dijajah Zionis.
Seorang lelaki bule gemuk berkaus polo warna merah menyapa. “Hai, nama saya Steve,” ujarnya ramah. Steve datang didampingi dua orang berseragam putih bergaris biru dari Magen David Adom (Bintang David Merah, semacam palang merahnya Israel).
Sambil melihat-lihat keadaan Surya yang masih terlilit selang-selang infus dan kabel pasca operasi, ia bertanya, “Bagaimana keadaan Anda?” Surya menjawab singkat, “Baik.”
Kemudian Steve bercerita, beberapa hari sebelumnya ia baru saja tiba dari Jakarta. Dirinya sengaja datang untuk memastikan keadaan Surya. “Sepekan saya di Jakarta. Saya sudah kontak dengan kementerian kesehatan Indonesia, dengan dr Rustam. Begitu keadaan Anda baik, kami akan mengurus kepulangan Anda,” kata Steve.
Kunjungan Steve yang hanya sekitar sepuluh menit itu menyisakan sejumlah pertanyaan di benak Surya. Bagaimana bisa kementerian kesehatan Indonesia punya hubungan dengan seseorang dari bangsa penjajah?
Sejak kapan hal ini terjadi?
Menurut Kepala Kerjasama Kesehatan Bilateral Kementerian Kesehatan RI, Dicky Budiman, dr Rustam yang dimaksud Steve adalah Rustam Syarifuddin Pakaya, mantan kepala pusat penanggulangan krisis Kemenkes RI yang pernah melakukan misi ke Jalur Gaza pasca gempuran Zionis Israel awal tahun 2009 lalu.
Namun, Dicky membantah anggapan adanya hubungan atau kerjasama di bidang kesehatan antara Indonesia dengan bangsa Zionis tersebut. “Tidak pernah ada,” kata Dicky kepada Suara Hidayatullah.
Awal bulan November lalu Suara Hidayatullah menemui dr Rustam yang dimaksud oleh Steve. Saat ini ia menjabat Direktur SDM dan Pendidikan Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Rustam mengaku kenal dengan Steve. “Namanya Steve Stein. Dia seorang professor,” kata Rustam menjelaskan.
Rustam mengatakan, dialah yang meminta Steve untuk mencari dan memastikan kondisi ke 12 relawan Indonesia yang diserang di Kapal Mavi Marmara itu Namun, Rustam mengaku tidak pernah bertemu muka dengan Steve.
Kata Rustam, Steve jualah yang pertama kali menelepon dia terkait adanya sejumlah WNI di Mavi Marmara. “Sejak itu saya kontak dengan dia via telepon dan email,” ujar Rustam.
Saat itu, kata Rustam, dirinya juga diingatkan oleh sejumlah pihak agar berhati-hati berhubungan dengan Steve. “Awas, bisa jadi itu Mossad! (badan intelijen Israel, Red), kata orang. Tapi, yang penting saat itu adalah mengetahui keadaan WNI yang ditahan di sana,” jelas Rustam.
Senada dengan Dicky, Rustam juga mengatakan tidak ada kerjasama antara Kemenkes RI dengan MDA atau organisasi apa pun dari Israel. Sekretariat Jenderal Kemenkes RI melalui Kepala Pusat Komunikasi Publiknya pun menegaskan hal itu.
“Sesuai dengan politik luar negeri negera Republik Indonesia yang tidak menjalin hubungan diplomatik maupun kerjasama bilateral dalam bentuk apa pun dengan pihak negera Israel, maka kami tegaskan bahwa kementerian kesehatan RI tidak memiliki dan tidak mungkin menjalin kerjasama dengan Israel,” papar Tritarayati, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenkes RI.
Kepada Suara Hidayatullah, Tritarayati menegaskan, siapa pun pejabat Kemenkes RI di Jakarta yang dikenal oleh Steve Stein dari MDA Israel bukan merupakan keabsahan adanya pembicaraan tentang kerjasama antara MDA Israel dengan Kemenkes RI.
“Secara institusi, kementerian kesehatan RI menyatakan tidak pernah mengenal Steve Stein atau siapa pun pejabat MDA Israel,” ujarnya menjelaskan.
Pedagang yang Membuka Pintu
Rustam mengatakan, pihak Indonesia yang membuka kerjasama kesehatan dengan MDA Israel adalah Yayasan Ambulan Gawat Darurat 118 dan Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah.
Pada akhir Oktober 2008 lalu, Ketua Yayasan Ambulan 118 Prof Aryono Pusponegoro bersama Ketua Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah, Sudibyo Markus diberitakan telah menandatangani kerjasama dengan MDA Israel, di Tel Aviv.
Kepada www.hidayatullah.com kala itu, Sudibyo membenarkan dirinya telah datang ke Israel bersama Prof Aryono. Tapi menurutnya, kedatangannya bukan untuk perjanjian kerjasama antara Muhammadiyah dengan Israel.
“Yang benar, sebagai saksi dalam perjanjian untuk mendampingi Prof Aryono Pusponegoro sebagai Ketua Yayasan Ambulan Gawat Darurat 118. Dan bukan atas nama Muhammadiyah,” kata Sudibyo.
Dihubungi via telepon pertengahan November lalu, Prof Aryono membenarkan adanya kerjasama Yayasan yang dipimpinnya dengan MDA Israel. “Tapi (Yayasan Ambulan) 118 bukan hanya kerjasama dengan MDA, tapi juga dengan banyak negara lain, seperti Miami Dade dari Amerika, dengan Australia, Yordania, dan sebagainya,” tegas Aryono.
Prof Aryono mengatakan, pihaknya juga mendapatkan manfaat dari MDA. Karena kesibukannya, dia tidak bisa melakukan wawancara langsung dengan Suara Hidayatullah untuk menjelaskan masalah ini.
Namun ia mengatakan, sangat ingin menjelaskan masalah ini secara langsung pada kesempatan berikutnya. “Jadi, jangan salah paham. Ini sejarahnya panjang. Apalagi menyangkut kerjasama dengan Israel.”
Aryono mengaku kenal dengan Steve Stein. Tapi, kata Aryono, bukan seorang professor ataupun dokter. “Dia itu pedagang, bukan dokter apalagi professor,” ujar Aryono.
Apakah artinya Yayasan Ambulan 118 membeli alat-alat atau teknologi kesehatan dari Zionis Israel melalui Steve? “Tidak,” kata Aryono. Menurutnya, teknologi kesehatan Israel sebenarnya tidak istimewa. “Mereka bagusnya itu soal senjata. Selama kita (Indonesia) diembargo pada masa Orde Baru, kita membeli senjata dari sana (Israel),” kata Aryono yang pernah memimpin organisasi Ikatan Dokter Bedah Indonesia ini.
Hasil penelusuran Suara Hidayatullah menunjukkan, Steve Stein memang seorang pebisnis. Pada tulisan di situs berita Zionis Jerusalem Post, www.jpost.com, 18 Agustus 201o, Steve disebut sebagai pengusaha Israel pertama yang menjalin hubungan dagang dengan Indonesia.
Tulisan yang berjudul, From Israel to Indonesia, With Love itu, Steve dikabarkan pertama kali tiba di Jakarta pada tahun 1992. “Upaya Stein selama dua dekade ini telah sukses meningkatkan perdagangan dan kerjasama di bidang medis antara penyedia layanan kesehatan Indonesia dengan RS Rambam di Haifa, dan MDA.”
Dalam tulisan itu Steve mengatakan, Indonesia memerlukan pelatihan medis, terutama setelah peristiwa tsunami. “Dan Israel memiliki sejumlah pelayanan medis terbaik yang ada di dunia,” kata Steve.
Pada tahun 2006, Steve mendatangkan Prof Aryono ke Israel untuk berkunjung ke MDA untuk menyaksikan simulasi penanganan serangan terror dengan melibatkan banyak unsur, seperti polisi, pemadam kebakaran, militer, angkatan udara, dan juga pihak MDA.
“Hal itu berjalan mulus,” kata Steve. Maka, pada tahun 2008, Steve memboyong 23 dokter dari seluruh Indonesia ke ibukota bangsa Zionis itu, Tel Aviv. Dalam kunjungan selama dua pekan itu, delegasi dokter Indonesia mengikuti kegiatan pelatihan Management of Multi-Casualty Incidents.
Steve mengatakan, dokter-dokter Indonesia itu begitu terkesan dengan Israel. “Kepala mereka tergeleng-geleng, mereka mengatakan kepada saya, mereka bingung,” kata Steve seperti ditulis Jerusalem Post.
Mereka bingung, kata Steve, karena mereka tidak melihat adanya konflik ataupun perang selama kunjungannya ke Israel. “Di sini aman. Tidak seperti yang diberitakan Aljazeera.” Tak lama setelah kunjugan dokter Indonesia itulah, kerjasama Yayasan Ambulan 118 dengan MDA Israel diresmikan.
Majalah Warta Ekonomi edisi awal Maret 2010 menurunkan hasil wawancara dengan Ketua Kamar Dagang Israel untuk Indonesia, Emmanuel Shahaf. Dalam wawancara itu Shahaf mengatakan, lembaganya banyak mendapat tawaran bisnis obat-obatan dan teknologi kedokteran dari pengusaha dalam negeri Israel untuk masuk ke Indonesia.
Namun ia mengatakan, untuk masuk ke sektor kesehatan cukup sulit. Sebab, kurangnya akses perusahaan-perusahaan Israel untuk sektor pemerintahan di Indonesia karena kekangan politik Islam lokal.
“Hal ini mencegah pemerintah Indonesia mengakses teknologi dan metodologi yang akan sangat bermanfaat bagi penduduk dalam pengelolaan bencana, kesehatan masyarakat, dan lain-lain,” katanya.
Anggapan Shahaf ini dibantah oleh Rustam Pakaya, mantan Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kemenkes RI. Selama ini, kata Rustam, malah Indonesia yang direkomendasikan sebagai rujukan dunia oleh badan kesehatan dunia (WHO) dalam hal penanggulangan bencana, khususnya di bidang kesehatan.
Kata Rustam, di Indonesia banyak terjadi bencana, maka pengalaman Indonesia dalam menangani bencana menjadi acuan bagi banyak negara.
“Buat apa belajar ke luar negeri? Apalagi belajar ke Israel,” kata Rustam. * SUARA HIDAYATULLAH, DESEMBER 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar